Saturday, May 10, 2008

POLICE OF THE OPERA

POLICE OF THE OPERA

Genres: Comedy and Suspense Thriller

Running Time: about 60 minutes

Release Date: November 26th, 2005

MPAA Rating: PG-13 for violence and language references

Distributor: Power of Danger Pictures Distribution

Cast and Credits:

Starring:

Ivren …………………………… as Tokoh Utama

M***a ………………………….. as Ma (Mi’s twin sister)

M**i*s …………………………. as Mi (Ma’s twin brother)

Pe******* ……………………… as Pe (Mi’s car driver)

Ri*** ……………………………. as Ri (the driver chaperone)

El** ……………………………… as The brother of Tokoh Utama

and

H. A***** ……………………….. as Police of the Opera

With the special appearances of

Kampung Madras Audiences…………. as The Crowd

Directed by: Joel Schumacher

Produced by: Kathleen Kennedy

Story

Malam ini tidak bisa tidur dengan nyenyak. Tokoh utama kebanjiran telpon dan SMS sejak pukul 00.00 WIB pada tanggal 26 Nopember. Tidak heran, hari itu tokoh utama sedang merayakan hari jadinya yang kesekian puluh tahun. Baru memejamkan mata sekitar 5 menit, vibrasi handphone mulai terasa, ternyata ada telpon dan sms. Demikian seterusnya sampai tidak terasa sudah jam 7 pagi. Akibatnya, waktu tidur yang seharusnya 8 jam tidak bisa dinikmati sepenuhnya oleh tokoh utama. Hal ini membuahkan mimpi buruk. Begini ceritanya... Tokoh utama entah mengapa dihadapkan pada setting di jalan raya, dengan dikelilingi oleh para polisi yang sedang menginterogasi tokoh utama. Olala, ternyata tokoh utama ditilang dengan tuduhan melanggar lampu merah. Sebenarnya topik seperti ini tidak asing lagi bagi tokoh utama di dunia kehidupan yang sebenarnya. Dengan rekor 4 kali lolos dari hadangan para polisi (dengan tuduhan yang juga sama), topik penilangan ini serasa akrab dalam benak tokoh utama sehingga muncul di dalam buah tidur (Sigmund Freud... Analyze this! Analyze this! Ha-ha..). Dan... karena mimpinya menjengkelkan, tokoh utama pun segera tersadar dan menyambut pagi 26 Nopember.

Setelah melakukan aktivitas pagi (ditambah dengan membalas SMS dan menerima telpon dari relasi2). Tokoh utama segera meluncurkan mobilnya untuk menemui salah seorang teman. Yah, beginilah nasib seseorang yang sedang berulang tahun: wajib mentraktir! Beberapa jam kemudian, terdengar dering handphone, oh ternyata Ma yang menelpon! Begitu diangkat, suara Ma yang nyaring dan sumbang seperti Giant pun menyanyikan lagu Happy Birthday... Ha-ha... Setelah itu, Ma pun menodong tokoh utama untuk wajib mentraktir. Tokoh utama tidak merasa keberatan dan menyetujuinya. Tapi Ma tidak sendiri, rencana makan bareng ini pun mengikut sertakan Mi, Pe, dan Ri.

Jam 15.30 tokoh utama pun segera berangkat dari tempat menuju pemberhentian berikutnya di Sun Plaza. Rute yang dilalui adalah jalan Pemuda. Dalam perjalanan, tokoh utama merasa ada sesuatu yang meresahkan, terlebih lagi di daerah Pemuda tampak beberapa petugas polisi yang sedang melakukan tugasnya. Teringat buah mimpi semalam, ada rasa was-was setiap kali melihat polisi. Tokoh utama pun mengalami paranoid. Setiap gerakan tangan polisi, dicurigai sebagai gerakan untuk menghentikan mobil tokoh utama. Syukurnya, hal itu tidak terjadi. Rute selanjutnya yang dilewati adalah jalan Palang Merah. Sampai dipersimpang empat, mobil tokoh utama pun berhenti dikarenakan lampu lalu lintas sedang berwarna merah. Jantung ini kemudian berdenyut kembali dengan kencang, ada polisi di depan gedung Bank Sumut! “Ah, semoga tidak terjadi apa-apa denganku.”, batin tokoh utama. Tapi doa di sore hari itu tidak terkabul. Setelah mobil di depan berjalan, tokoh utama pun mengikutinya. Tapi apa yang terjadi para penonton (pembaca), akhirnya tangan polisi kali ini benar-benar nyata melambai ke arah mobil tokoh utama. Karena merasa tidak melakukan pelanggaran apa pun, akhirnya tokoh utama menerobos polisi tersebut dan tetap berjalan. O-ouw... ternyata polisi tersebut mengejar tokoh utama dengan mengendarai sepeda motor. Aksi kejar-kejaran pun terjadi. Tapi dasar tidak beruntung, di persimpangan Zainul Arifin sedang lampu merah. Akhirnya polisi itu pun dapat mengejar tokoh utama.

“Maaf Pak, saya melakukan kesalahan apa?”, tanya tokoh utama.

“Apa kamu tidak melihat kalo kamu melanggar lampu merah?”, polisi itu sewot.

Padahal tokoh utama dengan jelas melihat bahwa lampu sudah menunjukkan warna hijau dan mobil yang ada di depan dan di belakang mobil tokoh utama juga berjalan. Kalo lampu tersebut tidak hijau, tentu mobil yang di depan dan di belakang tokoh utama tidak akan berjalan, terlebih lagi para polisi sedang bertugas. Doesn’t make sense at all!

“Lho, kan sudah hijau Pak! Mobil yang di depan saya saja sudah maju. Mobil yang di belakang pun ikut maju.”, jawab tokoh utama.

“Apa kamu tidak lihat, kalo mobil yang di depan dan di belakang kamu juga diberhentikan?”, gertaknya.

“Tidak!”, tokoh utama yakin sekali mobil-mobil tersebut tidak dihentikan.

“Pinggirkan mobil kamu!”, perintahnya.

Merasa tidak bersalah dan tidak senang dengan perlakuan polisi tersebut, tokoh utama terus melajukan mobil. Akan tetapi sang polisi berhasil menghentikan mobil sehingga terhenti di depan pintu masuk Sun Plaza. Perdebatan terus terjadi. Masing-masing pihak merasa benar dan tidak merasa mau dikalahkan. Akhirnya tokoh utama berkata,”Ok Pak... Saya tepikan dulu mobil ini, mobil-mobil yang di belakang terhalang lajunya.” Polisi itu menyetujuinya. Tapi, dalam benak tokoh utama merasa bahwa tidak sepantasnya polisi itu terus mengikutinya karena tokoh utama tidak melakukan pelanggaran apa pun. Terlebih lagi setelah polisi itu mulai mengeluarkan kata-kata yang kasar (ah, bukan cerminan aparat keamanan yang baik!). Tapi dasar tokoh utama berhati baja dan merasa jagoan, bukannya menepikan mobil, eh... malah menekan gas dengan kuatnya untuk melarikan diri. Setelah mengelilingi bundaran air mancur di Sun Plaza, polisi itu berhasil menghentikan mobil tokoh utama. Tokoh utama pun melakukan aksi kabur lagi di jalan Zainul Arifin. Kejar-kejaran pun terjadi. Malang, mobil yang dipakai tidak layak untuk aksi seperti ini (please... pihak produser perlu mengganti dengan Porsche agar aksi kejar-kejaran bisa ala Fast and Furious biar semakin seru). Mobil tokoh utama pun dihentikan di tengah jalan Cik Ditiro. Begitu polisi tersebut menghampiri mobil, dia pun langsung mencabut kunci mobil. Damn...!!!.

Sejak saat itu, opera pun memasuki klimaksnya. Satu per satu penonton berdatangan, terlebih lagi kerumunan menjadi semakin ramai akibat suara adu mulut yang sangat kuat dari sang polisi. Tokoh utama tidak mau beranjak dari dalam mobil. Mobil-mobil yang masuk ke jalan itu pun semakin banyak menyebabkan kemacetan yang cukup parah. Para penonton semakin ramai dan semakin mengangakan mulut karena serunya aksi laga ini. Tokoh utama menelpon abangnya yang kebetulan sedang berada di Deli Plaza. Sementara polisi itu merepet, tokoh utama bersikeras tidak mau untuk ditilang. Lampu pentas pun semakin menyala di tengah hiruk pikuknya penonton di sekitar Kampung Madras (ini nama kerennya, biasanya disebut Kampung Keling). Untungnya, abang yang ditunggu pun segera datang setelah 10 menit. Namun, tidak ada hasil yang signifikan. Sang polisi tetap bersikeras untuk menilang. Malah, makian-makian pun semakin sering terlontar dari mulutnya (what a manner gitu lho...! Ha-ha...).

Bantuan berikutnya ada kuartet Ma, Mi, Pe, dan Ri. Ma dan Mi begitu sampai di TKP, langsung meloncat dari mobil. Sementara Pe yang bertugas mengendarai mobil Mi, sempat turun sebentar. Pada saat itu, polisi sedang menulis surat tilang, padahal tokoh utama sudah meminta maaf. Dasar polisi keras kepala! Apalagi ada seorang bapak yang botak dan bikin kesal yang menambah bumbu-bumbu untuk menyedapkan dan semakin memanaskan aksi mencekam ini. “Sudah Pak... Tilang saja dia!”, ujarnya. Dasar! Sebenarnya tokoh utama mau mendamprat bapak itu. Karena dia tidak tau permasalahan sebenarnya, tapi kenapa dia bisa mengeluarkan ‘perintah’ seperti itu (oh, mungkin ini yang menyebabkan konflik-konflik di tanah air, selalu saja ada pihak yang merasa dirinya penting dan mengeluarkan opini-opini yang diyakininya benar meskipun sebenarnya dia tidak tahu mana benar dan mana yang salah).

Ma dan Mi (yang dijuluki ‘the twins’ karena reputasinya sebagai jabir-jabir =jago bicara, red= dari Psikologi) pun segera ambil peranan. Mi yang memiliki relasi di kepolisian sibuk memencet tombol-tombol handphonenya. Sementara Ma mengeluarkan jurus-jurus ampuh dari bibirnya yang seksi itu (ha-ha...). Akhirnya telpon tersambung, Mi menyerahkan telpon itu ke pak polisi. Pak polisi tidak mau berbicara dengan polisi yang ada di telpon (mungkin takut kali...). Sementara Ma terus mengoceh,”Vren, biarkan aja dia tilang. Lihat saja nanti siapa yang benar atau salah. Papaku punya relasi yang bisa membantu.... bla... bla... bla...” Ma menyebut beberapa orang penting yang jabatannya tentu jauh lebih tinggi dari polisi yang cuma berpangkat brigadir itu. Tokoh utama sih sebenarnya tidak mau melibatkan banyak pihak, yang penting berdamai dengan polisi itu. Tapi polisi itu tetap aja bersikeras dengan tuduhannya, padahal tokoh utama tidak bersalah! Ma ditambah dengan kekuatan Mi melontarkan jurus-jurus ampuhnya (yang dipelajari di Tibet) ke arah pak polisi. Menurut hemat tokoh utama, polisi itu sudah mulai kecut juga. Mungkin karena tidak mau kehilangan wibawanya di muka umum, dia tetap tidak mau mengubah keputusannya. Tahap akhir, surat tilang berwarna merah itu pun diserahkan. Tokoh utama bukannya gelisah malah bercanda,”Eh enak juga yah sidang tanggal 23 nanti. Semoga hasilnya bisa dapat A! Skripsi kemarin Cuma dapat B+ sih” Ha-ha... Ma dan Mi pun tidak mau kalah mengeluarkan jurus-jurus verbal terkininya.

Setelah selesai, Ma dan Mi masuk ke mobil Mi. Sementara tokoh utama masuk ke mobil merahnya, dan abang tokoh utama masuk ke dalam mobil hijaunya. Tujuan berikutnya adalah Sun Plaza yang seharusnya sudah dikunjungi beberapa puluh menit yang lalu. Tokoh utama pun memasuki daerah Medan Club dan berhenti karena lampu merah. Setelah hijau, polisi itu memanggil lagi dan menyuruh tokoh utama untuk menepi. “Ada apa lagi? Sampai jumpa di pengadilan aja deh!” seru tokoh utama sambil tidak mau berhenti dan tetap menjalankan mobil. Muka polisi itu seperti menyiratkan kegelisahan.

“Mana surat merah tadi?” tanyanya.

“Sama abang saya”, Jawab tokoh utama.

“Pertinggal kamu apa?” tanyanya lagi.

“Maaf Pak, bukan urusan Bapak! Lagipula nanti kami ketemu kok di Sun Plaza”, jawabku dengan ketus.

Mukanya semakin mengekspresikan perasaan cemas.

“Sampai jumpa tanggal 23 yah!”, jawab tokoh utama sambil mengekspresikan muka ejekan dengan lambaian tangan yang semakin membuat polisi itu jengkel. Sebenarnya tokoh utama tidak mau berbuat seperti itu karena mungkin saja merendahkan dia (walau sebenarnya makian-makian polisi aja sudah merendahkan tokoh utama), terlebih lagi dia polisi yang sebenarnya harus dapat menjadi teladan bagi penduduk sipil. Tapi bagaimana mungkin dia bisa dihormati kalau dia saja merendahkan dirinya dalam konteks tidak menjalankan tugasnya dengan prinsip dasar seorang polisi sebagai pelindung masyarakat (bukan preman yang menjadi teror bagi masyarakat).

Sampai di lokasi cafe di Sun Plaza, tokoh utama menceritakan tentang pertemuan tadi dengan Ma, Mi, Pe, dan Ri. Mi yang gelak tawanya hampir meruntuhkan Sun Plaza yang megah itu segera tertawa dengan nada dasar G (5 oktaf pula!). Ternyata Mi tadi berujar ke polisi,”Siap-siap aja deh turun pangkat!”. Polisi itu pun ternyata tidak kalah gertaknya,”Berapa harilah kau bisa mengambil kembali STNK itu?” Ma dan Mi kompak menjawab,”Senin sudah bisa. Siap-siap ajalah Pak dengan laporan-laporan kami!”.

Ma dan Mi tertawa terbahak-bahak. Pe dan Ri yang menjadi vokalis latar juga tertawa. “Pasti polisi itu tidak bisa tidur malam ini! Turun pangkat atau tidak...”, ujar Mi dengan hebohnya. Tokoh utama kemudian menceritakan kronologis peristiwanya. Yang unik, setelah penyerahan surat tilang itu, para kerumunan Kampung Madras dengan riuhnya bertepuk tangan menunjukkan bahwa opera ini sangat menghibur di tengah-tengah minimnya pertunjukkan akting yang berkualitas yang dapat mereka saksikan (ha-ha...!). Beberapa di antara mereka malah menyeletuk,”Beginilah sandiwara orang kaya!”. Tokoh utama yang merasa tidak memiliki harta yang cukup banyak membatin,”Koreksi dong! Saya tidak merasa ‘the have’. Yang kaya itu teman-teman saya ini. Yah, kaya kucing, kaya singa, kaya dinosaurus, kaya harimau, kaya ular yang siap-siap mencakar, mencabik-cabik, menerkam, menindas, mematuk sang polisi yang keras kepala itu (hihihi...).

Tokoh utama kemudian sadar bahwa akhirnya mimpi itu menjadi kenyataan. Tetapi dia tidak merasa bahwa ini merupakan suatu kesialan. Karena pada dasarnya dia puas dengan aktingnya, respon para penonton, dan dia juga merasa senang mendapat peran utama karena membuat ulang tahunnya menjadi yang paling unik dan mendapat perhatian dari sekitar ratusan penonton (ha-ha....).

Yang disesalkan, polisi itu kok bisa-bisanya seperti itu. Menurut hemat tokoh utama, kemungkinan polisi itu bisa saja menerima bayaran dari tokoh utama agar tidak ditilang. Tetapi karena sudah berada di tengah publik, tentunya dia tidak mau kehilangan wibawa dan harga diri. Saat polisi itu menanyakan keberadaan surat tilang pun, tokoh utama yakin bahwa dia hendak membatalkannya dan ingin nego dengan tokoh utama, toh... tidak di tengah keramaian lagi kan? Terlebih lagi jurus-jurus maut dari Ma dan Mi mengenai turun jabatan itu berpengaruh signifikan terhadap kecemasan polisi (bisa dijadikan hipotesis skripsi nih!).

Tokoh utama, Ma, Mi, Pe, dan Ri melanjutkan kembali makan sorenya sambil terbahak-bahak mengingat kejadian itu. Uniknya, setiap mereka berlima bertemu, ada saja kejadian yang tidak menyenangkan terjadi. Setelah pengalaman mobil mogok yang ditunggangi oleh Pe, kali ini peristiwa penilangan! Mungkin itulah power of the 5 dangers! Ha-ha...

Setelah dievaluasi, ternyata opera ini sangat berhasil, ratingnya mengalahkan program-program infotainment (ha-ha...!!!). Ekspresi muka polisi yang kecut itu pun cukup membuat terpingkal-pingkal kalo diingat-ingat kembali. Maksud untuk mengais rejeki, eh... malah malu dan takut yang diterimanya. Itulah sebabnya aku menjulukinya sebagai Police of the Opera (pelesatan dari Phantom of the Opera arahan Joel Schumacher).

Stressful event yang menyenangkan dan unik! (nah lho...!!). Setelah kejadian ini, tokoh utama bertekad untuk tetap menjadikan profesi aktor menjadi tujuan hidupnya dan ingin menoreh catatan prestasi di bidang ini (hak-hak.... please!!!!!).

Thanks to:

My deepest gratitude to Allah who gave me the strenght and faith in facing the police of the opera. I still convince that’s not a tragedy for me....

Mi, for giving me his helping hands to deal with these issue. Im so much obliged to you, Bro!

Ma, Pe, and Ri for sharing this events with me... Hope in the forthcoming events, we do not deal with policemen anymore yak!!!

Eau de Toilletes that I have accepted as my birthday presents, for your nice smells that make me feel so damn good and relax!

All the Kampung Madras Audiences for making me realize that public opinion should be awared.

Police of the Opera for making me so sure that the bad images that you have will never stop unless you start thinking to change your bad behaviour and temper! You should dedicate your life to civil society and have a determination in doing your daily job!

1 comment:

Anonymous said...

tes.. tes... coba masukin komen...
Huhuhuhu... ini seperti yang ko ceritakan padaku kan? hehehehe..