Saturday, May 10, 2008

Soul Mate

Many asked,”Ivren, what are you looking for in a relationship?” I said, “A soul mate! It’s certain!” No wonder, soul mate is what I looking for (without any barriers of relation types, whether it is a romance, sibling, friendship, fraternity, or whatever). Then they asked me more,” What kind of people can be your soul mate?” I laughed…. (Because it’s so intangible that I can make no description. But, well, uh… I am intense to take any details of a real soul mate).

Here are the details:

In General

I am hoping to find my other half (sometimes I dream of having twin brother/sister, ha-ha….), the one who can finish my sentences, someone who really ‘gets’ my inner emotions.

In Romance

I like someone who has a strong intellectual streak, loyalty, and great sense of humor. They are terrific selling points. I am a romantic dater. But… if my dates can’t savor romance like I do, it might be a perfect match. I also do like someone who knows exactly what to do and say in any situation. Someone with quick-witted, incredibly stylish, and so fort (one night is insufficient to make the details, ha-ha…)

What become in my mind is how to find them. I know it’s just a matter of time. I hope, at least, my forthcoming soul mate is wondering the same about me.

POLICE OF THE OPERA

POLICE OF THE OPERA

Genres: Comedy and Suspense Thriller

Running Time: about 60 minutes

Release Date: November 26th, 2005

MPAA Rating: PG-13 for violence and language references

Distributor: Power of Danger Pictures Distribution

Cast and Credits:

Starring:

Ivren …………………………… as Tokoh Utama

M***a ………………………….. as Ma (Mi’s twin sister)

M**i*s …………………………. as Mi (Ma’s twin brother)

Pe******* ……………………… as Pe (Mi’s car driver)

Ri*** ……………………………. as Ri (the driver chaperone)

El** ……………………………… as The brother of Tokoh Utama

and

H. A***** ……………………….. as Police of the Opera

With the special appearances of

Kampung Madras Audiences…………. as The Crowd

Directed by: Joel Schumacher

Produced by: Kathleen Kennedy

Story

Malam ini tidak bisa tidur dengan nyenyak. Tokoh utama kebanjiran telpon dan SMS sejak pukul 00.00 WIB pada tanggal 26 Nopember. Tidak heran, hari itu tokoh utama sedang merayakan hari jadinya yang kesekian puluh tahun. Baru memejamkan mata sekitar 5 menit, vibrasi handphone mulai terasa, ternyata ada telpon dan sms. Demikian seterusnya sampai tidak terasa sudah jam 7 pagi. Akibatnya, waktu tidur yang seharusnya 8 jam tidak bisa dinikmati sepenuhnya oleh tokoh utama. Hal ini membuahkan mimpi buruk. Begini ceritanya... Tokoh utama entah mengapa dihadapkan pada setting di jalan raya, dengan dikelilingi oleh para polisi yang sedang menginterogasi tokoh utama. Olala, ternyata tokoh utama ditilang dengan tuduhan melanggar lampu merah. Sebenarnya topik seperti ini tidak asing lagi bagi tokoh utama di dunia kehidupan yang sebenarnya. Dengan rekor 4 kali lolos dari hadangan para polisi (dengan tuduhan yang juga sama), topik penilangan ini serasa akrab dalam benak tokoh utama sehingga muncul di dalam buah tidur (Sigmund Freud... Analyze this! Analyze this! Ha-ha..). Dan... karena mimpinya menjengkelkan, tokoh utama pun segera tersadar dan menyambut pagi 26 Nopember.

Setelah melakukan aktivitas pagi (ditambah dengan membalas SMS dan menerima telpon dari relasi2). Tokoh utama segera meluncurkan mobilnya untuk menemui salah seorang teman. Yah, beginilah nasib seseorang yang sedang berulang tahun: wajib mentraktir! Beberapa jam kemudian, terdengar dering handphone, oh ternyata Ma yang menelpon! Begitu diangkat, suara Ma yang nyaring dan sumbang seperti Giant pun menyanyikan lagu Happy Birthday... Ha-ha... Setelah itu, Ma pun menodong tokoh utama untuk wajib mentraktir. Tokoh utama tidak merasa keberatan dan menyetujuinya. Tapi Ma tidak sendiri, rencana makan bareng ini pun mengikut sertakan Mi, Pe, dan Ri.

Jam 15.30 tokoh utama pun segera berangkat dari tempat menuju pemberhentian berikutnya di Sun Plaza. Rute yang dilalui adalah jalan Pemuda. Dalam perjalanan, tokoh utama merasa ada sesuatu yang meresahkan, terlebih lagi di daerah Pemuda tampak beberapa petugas polisi yang sedang melakukan tugasnya. Teringat buah mimpi semalam, ada rasa was-was setiap kali melihat polisi. Tokoh utama pun mengalami paranoid. Setiap gerakan tangan polisi, dicurigai sebagai gerakan untuk menghentikan mobil tokoh utama. Syukurnya, hal itu tidak terjadi. Rute selanjutnya yang dilewati adalah jalan Palang Merah. Sampai dipersimpang empat, mobil tokoh utama pun berhenti dikarenakan lampu lalu lintas sedang berwarna merah. Jantung ini kemudian berdenyut kembali dengan kencang, ada polisi di depan gedung Bank Sumut! “Ah, semoga tidak terjadi apa-apa denganku.”, batin tokoh utama. Tapi doa di sore hari itu tidak terkabul. Setelah mobil di depan berjalan, tokoh utama pun mengikutinya. Tapi apa yang terjadi para penonton (pembaca), akhirnya tangan polisi kali ini benar-benar nyata melambai ke arah mobil tokoh utama. Karena merasa tidak melakukan pelanggaran apa pun, akhirnya tokoh utama menerobos polisi tersebut dan tetap berjalan. O-ouw... ternyata polisi tersebut mengejar tokoh utama dengan mengendarai sepeda motor. Aksi kejar-kejaran pun terjadi. Tapi dasar tidak beruntung, di persimpangan Zainul Arifin sedang lampu merah. Akhirnya polisi itu pun dapat mengejar tokoh utama.

“Maaf Pak, saya melakukan kesalahan apa?”, tanya tokoh utama.

“Apa kamu tidak melihat kalo kamu melanggar lampu merah?”, polisi itu sewot.

Padahal tokoh utama dengan jelas melihat bahwa lampu sudah menunjukkan warna hijau dan mobil yang ada di depan dan di belakang mobil tokoh utama juga berjalan. Kalo lampu tersebut tidak hijau, tentu mobil yang di depan dan di belakang tokoh utama tidak akan berjalan, terlebih lagi para polisi sedang bertugas. Doesn’t make sense at all!

“Lho, kan sudah hijau Pak! Mobil yang di depan saya saja sudah maju. Mobil yang di belakang pun ikut maju.”, jawab tokoh utama.

“Apa kamu tidak lihat, kalo mobil yang di depan dan di belakang kamu juga diberhentikan?”, gertaknya.

“Tidak!”, tokoh utama yakin sekali mobil-mobil tersebut tidak dihentikan.

“Pinggirkan mobil kamu!”, perintahnya.

Merasa tidak bersalah dan tidak senang dengan perlakuan polisi tersebut, tokoh utama terus melajukan mobil. Akan tetapi sang polisi berhasil menghentikan mobil sehingga terhenti di depan pintu masuk Sun Plaza. Perdebatan terus terjadi. Masing-masing pihak merasa benar dan tidak merasa mau dikalahkan. Akhirnya tokoh utama berkata,”Ok Pak... Saya tepikan dulu mobil ini, mobil-mobil yang di belakang terhalang lajunya.” Polisi itu menyetujuinya. Tapi, dalam benak tokoh utama merasa bahwa tidak sepantasnya polisi itu terus mengikutinya karena tokoh utama tidak melakukan pelanggaran apa pun. Terlebih lagi setelah polisi itu mulai mengeluarkan kata-kata yang kasar (ah, bukan cerminan aparat keamanan yang baik!). Tapi dasar tokoh utama berhati baja dan merasa jagoan, bukannya menepikan mobil, eh... malah menekan gas dengan kuatnya untuk melarikan diri. Setelah mengelilingi bundaran air mancur di Sun Plaza, polisi itu berhasil menghentikan mobil tokoh utama. Tokoh utama pun melakukan aksi kabur lagi di jalan Zainul Arifin. Kejar-kejaran pun terjadi. Malang, mobil yang dipakai tidak layak untuk aksi seperti ini (please... pihak produser perlu mengganti dengan Porsche agar aksi kejar-kejaran bisa ala Fast and Furious biar semakin seru). Mobil tokoh utama pun dihentikan di tengah jalan Cik Ditiro. Begitu polisi tersebut menghampiri mobil, dia pun langsung mencabut kunci mobil. Damn...!!!.

Sejak saat itu, opera pun memasuki klimaksnya. Satu per satu penonton berdatangan, terlebih lagi kerumunan menjadi semakin ramai akibat suara adu mulut yang sangat kuat dari sang polisi. Tokoh utama tidak mau beranjak dari dalam mobil. Mobil-mobil yang masuk ke jalan itu pun semakin banyak menyebabkan kemacetan yang cukup parah. Para penonton semakin ramai dan semakin mengangakan mulut karena serunya aksi laga ini. Tokoh utama menelpon abangnya yang kebetulan sedang berada di Deli Plaza. Sementara polisi itu merepet, tokoh utama bersikeras tidak mau untuk ditilang. Lampu pentas pun semakin menyala di tengah hiruk pikuknya penonton di sekitar Kampung Madras (ini nama kerennya, biasanya disebut Kampung Keling). Untungnya, abang yang ditunggu pun segera datang setelah 10 menit. Namun, tidak ada hasil yang signifikan. Sang polisi tetap bersikeras untuk menilang. Malah, makian-makian pun semakin sering terlontar dari mulutnya (what a manner gitu lho...! Ha-ha...).

Bantuan berikutnya ada kuartet Ma, Mi, Pe, dan Ri. Ma dan Mi begitu sampai di TKP, langsung meloncat dari mobil. Sementara Pe yang bertugas mengendarai mobil Mi, sempat turun sebentar. Pada saat itu, polisi sedang menulis surat tilang, padahal tokoh utama sudah meminta maaf. Dasar polisi keras kepala! Apalagi ada seorang bapak yang botak dan bikin kesal yang menambah bumbu-bumbu untuk menyedapkan dan semakin memanaskan aksi mencekam ini. “Sudah Pak... Tilang saja dia!”, ujarnya. Dasar! Sebenarnya tokoh utama mau mendamprat bapak itu. Karena dia tidak tau permasalahan sebenarnya, tapi kenapa dia bisa mengeluarkan ‘perintah’ seperti itu (oh, mungkin ini yang menyebabkan konflik-konflik di tanah air, selalu saja ada pihak yang merasa dirinya penting dan mengeluarkan opini-opini yang diyakininya benar meskipun sebenarnya dia tidak tahu mana benar dan mana yang salah).

Ma dan Mi (yang dijuluki ‘the twins’ karena reputasinya sebagai jabir-jabir =jago bicara, red= dari Psikologi) pun segera ambil peranan. Mi yang memiliki relasi di kepolisian sibuk memencet tombol-tombol handphonenya. Sementara Ma mengeluarkan jurus-jurus ampuh dari bibirnya yang seksi itu (ha-ha...). Akhirnya telpon tersambung, Mi menyerahkan telpon itu ke pak polisi. Pak polisi tidak mau berbicara dengan polisi yang ada di telpon (mungkin takut kali...). Sementara Ma terus mengoceh,”Vren, biarkan aja dia tilang. Lihat saja nanti siapa yang benar atau salah. Papaku punya relasi yang bisa membantu.... bla... bla... bla...” Ma menyebut beberapa orang penting yang jabatannya tentu jauh lebih tinggi dari polisi yang cuma berpangkat brigadir itu. Tokoh utama sih sebenarnya tidak mau melibatkan banyak pihak, yang penting berdamai dengan polisi itu. Tapi polisi itu tetap aja bersikeras dengan tuduhannya, padahal tokoh utama tidak bersalah! Ma ditambah dengan kekuatan Mi melontarkan jurus-jurus ampuhnya (yang dipelajari di Tibet) ke arah pak polisi. Menurut hemat tokoh utama, polisi itu sudah mulai kecut juga. Mungkin karena tidak mau kehilangan wibawanya di muka umum, dia tetap tidak mau mengubah keputusannya. Tahap akhir, surat tilang berwarna merah itu pun diserahkan. Tokoh utama bukannya gelisah malah bercanda,”Eh enak juga yah sidang tanggal 23 nanti. Semoga hasilnya bisa dapat A! Skripsi kemarin Cuma dapat B+ sih” Ha-ha... Ma dan Mi pun tidak mau kalah mengeluarkan jurus-jurus verbal terkininya.

Setelah selesai, Ma dan Mi masuk ke mobil Mi. Sementara tokoh utama masuk ke mobil merahnya, dan abang tokoh utama masuk ke dalam mobil hijaunya. Tujuan berikutnya adalah Sun Plaza yang seharusnya sudah dikunjungi beberapa puluh menit yang lalu. Tokoh utama pun memasuki daerah Medan Club dan berhenti karena lampu merah. Setelah hijau, polisi itu memanggil lagi dan menyuruh tokoh utama untuk menepi. “Ada apa lagi? Sampai jumpa di pengadilan aja deh!” seru tokoh utama sambil tidak mau berhenti dan tetap menjalankan mobil. Muka polisi itu seperti menyiratkan kegelisahan.

“Mana surat merah tadi?” tanyanya.

“Sama abang saya”, Jawab tokoh utama.

“Pertinggal kamu apa?” tanyanya lagi.

“Maaf Pak, bukan urusan Bapak! Lagipula nanti kami ketemu kok di Sun Plaza”, jawabku dengan ketus.

Mukanya semakin mengekspresikan perasaan cemas.

“Sampai jumpa tanggal 23 yah!”, jawab tokoh utama sambil mengekspresikan muka ejekan dengan lambaian tangan yang semakin membuat polisi itu jengkel. Sebenarnya tokoh utama tidak mau berbuat seperti itu karena mungkin saja merendahkan dia (walau sebenarnya makian-makian polisi aja sudah merendahkan tokoh utama), terlebih lagi dia polisi yang sebenarnya harus dapat menjadi teladan bagi penduduk sipil. Tapi bagaimana mungkin dia bisa dihormati kalau dia saja merendahkan dirinya dalam konteks tidak menjalankan tugasnya dengan prinsip dasar seorang polisi sebagai pelindung masyarakat (bukan preman yang menjadi teror bagi masyarakat).

Sampai di lokasi cafe di Sun Plaza, tokoh utama menceritakan tentang pertemuan tadi dengan Ma, Mi, Pe, dan Ri. Mi yang gelak tawanya hampir meruntuhkan Sun Plaza yang megah itu segera tertawa dengan nada dasar G (5 oktaf pula!). Ternyata Mi tadi berujar ke polisi,”Siap-siap aja deh turun pangkat!”. Polisi itu pun ternyata tidak kalah gertaknya,”Berapa harilah kau bisa mengambil kembali STNK itu?” Ma dan Mi kompak menjawab,”Senin sudah bisa. Siap-siap ajalah Pak dengan laporan-laporan kami!”.

Ma dan Mi tertawa terbahak-bahak. Pe dan Ri yang menjadi vokalis latar juga tertawa. “Pasti polisi itu tidak bisa tidur malam ini! Turun pangkat atau tidak...”, ujar Mi dengan hebohnya. Tokoh utama kemudian menceritakan kronologis peristiwanya. Yang unik, setelah penyerahan surat tilang itu, para kerumunan Kampung Madras dengan riuhnya bertepuk tangan menunjukkan bahwa opera ini sangat menghibur di tengah-tengah minimnya pertunjukkan akting yang berkualitas yang dapat mereka saksikan (ha-ha...!). Beberapa di antara mereka malah menyeletuk,”Beginilah sandiwara orang kaya!”. Tokoh utama yang merasa tidak memiliki harta yang cukup banyak membatin,”Koreksi dong! Saya tidak merasa ‘the have’. Yang kaya itu teman-teman saya ini. Yah, kaya kucing, kaya singa, kaya dinosaurus, kaya harimau, kaya ular yang siap-siap mencakar, mencabik-cabik, menerkam, menindas, mematuk sang polisi yang keras kepala itu (hihihi...).

Tokoh utama kemudian sadar bahwa akhirnya mimpi itu menjadi kenyataan. Tetapi dia tidak merasa bahwa ini merupakan suatu kesialan. Karena pada dasarnya dia puas dengan aktingnya, respon para penonton, dan dia juga merasa senang mendapat peran utama karena membuat ulang tahunnya menjadi yang paling unik dan mendapat perhatian dari sekitar ratusan penonton (ha-ha....).

Yang disesalkan, polisi itu kok bisa-bisanya seperti itu. Menurut hemat tokoh utama, kemungkinan polisi itu bisa saja menerima bayaran dari tokoh utama agar tidak ditilang. Tetapi karena sudah berada di tengah publik, tentunya dia tidak mau kehilangan wibawa dan harga diri. Saat polisi itu menanyakan keberadaan surat tilang pun, tokoh utama yakin bahwa dia hendak membatalkannya dan ingin nego dengan tokoh utama, toh... tidak di tengah keramaian lagi kan? Terlebih lagi jurus-jurus maut dari Ma dan Mi mengenai turun jabatan itu berpengaruh signifikan terhadap kecemasan polisi (bisa dijadikan hipotesis skripsi nih!).

Tokoh utama, Ma, Mi, Pe, dan Ri melanjutkan kembali makan sorenya sambil terbahak-bahak mengingat kejadian itu. Uniknya, setiap mereka berlima bertemu, ada saja kejadian yang tidak menyenangkan terjadi. Setelah pengalaman mobil mogok yang ditunggangi oleh Pe, kali ini peristiwa penilangan! Mungkin itulah power of the 5 dangers! Ha-ha...

Setelah dievaluasi, ternyata opera ini sangat berhasil, ratingnya mengalahkan program-program infotainment (ha-ha...!!!). Ekspresi muka polisi yang kecut itu pun cukup membuat terpingkal-pingkal kalo diingat-ingat kembali. Maksud untuk mengais rejeki, eh... malah malu dan takut yang diterimanya. Itulah sebabnya aku menjulukinya sebagai Police of the Opera (pelesatan dari Phantom of the Opera arahan Joel Schumacher).

Stressful event yang menyenangkan dan unik! (nah lho...!!). Setelah kejadian ini, tokoh utama bertekad untuk tetap menjadikan profesi aktor menjadi tujuan hidupnya dan ingin menoreh catatan prestasi di bidang ini (hak-hak.... please!!!!!).

Thanks to:

My deepest gratitude to Allah who gave me the strenght and faith in facing the police of the opera. I still convince that’s not a tragedy for me....

Mi, for giving me his helping hands to deal with these issue. Im so much obliged to you, Bro!

Ma, Pe, and Ri for sharing this events with me... Hope in the forthcoming events, we do not deal with policemen anymore yak!!!

Eau de Toilletes that I have accepted as my birthday presents, for your nice smells that make me feel so damn good and relax!

All the Kampung Madras Audiences for making me realize that public opinion should be awared.

Police of the Opera for making me so sure that the bad images that you have will never stop unless you start thinking to change your bad behaviour and temper! You should dedicate your life to civil society and have a determination in doing your daily job!

Liburan ke Batam dan Singapura (III)

Hari Ketiga (22 Maret 2008):

Pas mau mandi, ternyata harus ngantri. Malam kmrn ternyata sdh ada penghuni lain yg masuk. Alhasil, kita pun jadi lama keluar dr apartemen. Sekitar jam 10.30 kita check-out dan menuntaskan rasa penasaran utk membeli souvenir yg blm jd dibeli semlm. Lagi2 belanja... Dang!

Tujuan berikutnya menuju Quality Hotel (4 star) di Balestier Rd. Kebetulan pas di Medan ditawarin stay di hotel ini. Beruntung kita dpt rate yg murah. Sehrsnya utk satu kamar sebesar SGD 250, tp dg harga segitu kita bisa dpt dua kamar. Hotelnya bersih, tapi aku merasa pelayanannya agak kurang bagus. Dan stafnya juga kurang ramah. Utk menuju Balestier Rd, kita menuju Novena MRT Station. Stlh sampai, ternyata dari stasiun MRT agak jauh ke hotel. Sebenarnya bisa naik bus sih, tp bhb blm ‘mahir’ naik bus, kita pakai taksi aja (SGD 3,40).

Stlh selesai urusan hotel, kita atur rencana hari ini. Tujuan berikutnya ke Little India, apalg kalo bukan buat belanja. Kakak dan adikku memang tujuannya belanja sih. Kalo aku cuma ngasih guide dan ikutan aja. Kita pakai taksi lagi. Sebenarnya dr hotel ada menyediakan shuttle bus ke Paragon di Orchard Rd, tp krn hari Sabtu service itu tdk ada. Kita pun menggunakan taksi dan turun di Mustafa Center. Ternyata ada miss, aku turun di Mustafa Center dan abangku turun di Little India MRT Station. Akhirnya kita saling tunggu2an. Bukan salahku juga kalo turun di Mustafa Center, kan masih di Little India juga. Hehe... Sambil menunggu mereka datang, foto2an dulu lah ya... Hihi... Oh ya, Mustafa Center ini buka 24 jam setiap hari. Di sini bnyk menjual parfum dan barang2 elektronik. Kalo jeli, bisa dapat barang elektronik dg hrg murah dan dg mutu yg terjamin.

Siang ini dihabiskan dg belanja2 lagi. Bnyk juga item 3 for 10. Malah aku beli wallscroll yg seharusnya 3 for 10 juga tapi aku beli dg harga SGD 1 for each! Kakakku jadi ‘sirik’ sndiri, krn seblmnya dia beli di Lucky Plaza 3 for 10. Hihi... Sepanjang siang, masuk dr toko yg satu ke toko yg lain. Sosok org India yg item2 selalu dijumpai di sini, sekaligus menghirup bumbu makanan khas India yg menusuk hidung sampai ke anatomi tubuh bagian dalam. Hehe.. Kebetulan aku nggak begitu suka dg makanan khas India, jadi pusing sndiri. Drpd pusing, mending foto-an lagi. Alah... Di daerah ini ada juga kuil2 dan mesjid2. Kuil yg di foto sblh ini sejenak mengingatkan akan kuil yg ada di Kampung Keling di Medan.

Setelah mereka puas belanja, akhirnya mereka ingat makan juga. Cari makanan yg non India, malah ngga ketemu. Sampe masuk ke mall yg ada foodcourt nya pun masih nggak selera. Akhirnya kita ‘terdampar’ di Golden Wall Mall. Dr luar gedung, udah kelihatan ada Kopi Tiam. Lgs masuk ke sana, dan kita akhirnya lunch di ABC Express. Lagi2 pesanannya makanan Indonesia. Aku lupa pesan apa, tp yg pasti ayam di Singapura besar2 bgt.

Lumayan kenyang! Mgkn krn kebanyakan makan, Dheaz (ponakanku) tiba2 minta pulang ke hotel. Ternyata mau pup... Hehe.. Rencana pun berubah.

Aku, Dheaz, dan abangku balik ke hotel. Sementara Kak Jenny, Devi, dan Kak Eja meneruskan perjuangan mereka belanja. Pdhal aku juga pengen ikut (bukan utk belanja) melihat2 di Little India Arcade, Bugis St, dan Arab St.

Sampai di hotel, rehat sejenak. Well, and we have a bad luck. It’s pouring rain outhere. Drpd menyesali keadaan, it’s time to have a fitness session! Lumayan bermanfaat utk membakar kalori akibat makanan enak! Habis fitnes, giliran renang. Asiknya nggak ada orang. Ya gmn nggak ada orang, kalo saat itu lagi hujan lebat. Akunya aja yg udik pengen renang. Hehe... Habis renang, giliran ber-sauna. Segar!

Lumayan lama juga hujannya reda. Jadinya kita agak lama kembali jalan. Pdhal mau ikut city sightseeing (CS). CS ini menggunakan bus spt gambar, biaya SGD 23 utk org dewasa dan SGD 13 utk anak berumur 3-12 thn. Kita bebas memilih waktunya (antara jam 9 pagi sampai 10 malam). Tujuan wisatanya juga bermacam2, 4 hari wisata di pagi hari dan 4 wisata di malam hari. Jadi kita bebas memilih, mau ke Merlion Park, Esplanade, dan lainnya. Kita akhirnya mutusin utk jalan2 scr mandiri aja. Tujuannya adl ke Merlion Park. Dr Novena MRT Station kita menuju City Hall MRT Station. Utk sampai ke City Hall MRT Station, kita turun di Dhoby Gaut MRT Station sbg tempat pemberhentian krn jalur ke City Hall yg di East West berbeda dgn jalur Novena yg di jalur North South. Turun di City Hall, kita terhubung lagi dg pusat perbelanjaan. Kita ke Suntec City. Sbnrnya aku pengen lihat taman air yg katanya bisa bawa hoki dg menjalankan ritual tertentu. Tp payah nih Kak Eja buru2 terus, nggak konsen ke suatu tempat. Akhirnya malah terlewat! Agak kesal jg.

Dr Suntec kita menuju Esplanade, kita dipandu sama cewek lokal ras Melayu. Lmyn capek juga jalan menuju Esplanade. Esplanade theater alias Teater Durian krn atapnya spt duri (apalg kalo di lihat di mlm hari). Di tempat ini bnyk pertunjukan2 kelas dunia diadakan. Pengen juga sesekali lht pertunjukan itu. Oh ya, kalo nggak salah Chris Botti akan mengadakan show di sini Mei nanti. Hooraaayy...! Krn mlm, jd agak krg jelas ya Esplanade yg terlihat di gambar. Esplanade ini terletak dekat dg Merlion Park. Sepanjang jalan kita juga bisa melihat landmark2 lainnya spt Fullerton Hotel dan Singapore flyer. Menikmati perjalanan sambil menikmati es potong terasa enjoy bgt!

Mumpung di Merlion Park, kita foto2 keluarga dulu. Hehe..

Next, aku ngusulin utk menikmati sungai di Singapura. Kita naik boat non diesel utk mengarungi sungai. Ada bbrp paket Singapore River Cruise, harga utk org dewasa dan anak2 sama saja, sebesar SGD 13 sampai ke River Point. Kami sbnrnya cuma minta sampai ke Clarke Quay aja, tp malah sampai ke River Point. Sbnrnya untung sih, dg membayar SGD 6 (hrg utk ke Clarke Quay) kami malah menikmati sampai ke River Point. Hehe...

Sepanjang perjalanan, kita bisa melihat berbagai macam keindahan sungai dan berbagai macam gedung yg menjulang tinggi dan ada juga bbrp yg memiliki histori tersendiri. Kita juga bisa melihat di tepi sungai ada

tempat2 makan yg menyerupai bentuk boat di Clarke Quay. Romantis juga tempatnya. Benar-benar suasana yg menyenangkan dan tempat yg indah.

Sesampai di River Point, kami berjalan menyusuri keindahan malam sepanjang sungai. Kami juga melihat atraksi RC Kites yg bentuknya menyerupai kupu-kupu dan kunang-kunang. RC Kites ini dikendalikan oleh remote control. Mengeluarkan cahaya. Menambah keindahan pemandangan. Harganya jutaan rupiah!

Puas berjalan2 di sekitar Clarke Quay (yg keindahannya membuat jd ngga berminat dg makan malam. Hehe..), kita memutuskan balik ke hotel. Aku pengen nonton film di Shaw Plaza, tp bhb yg lain nggak berminat, aku juga nggak jd pergi. Pulang ke hotel sektr pukul 12 malam, kali ini nyobain naik bus. Then, the rest is take a deep sleeping!

Sebenarnya masih bnyk destinasi yg mau dituju, spt: Carlsberg Tower, True Merlion, Fort Siloso dll di Sentosa Island, Singapore flyer, Night Safari, dan lainnya. Tapi yah krn wktnya juga terbatas, apa yg sdh dinikmati yah disyukuri. Kalo ada kesempatan lagi, mgkn akan beda lagi destinasinya.

Hari Keempat (23 Maret 2008):

Then, we must say sayonara to the Uniquely Singapore City! Stlh sarapan, langsung menuju Harbourfront. Ferry brngkt jam 09.30. Sampai di Batam menyempatkan diri utk beli kaos Converse dan krn hr ini birthday nya Dheaz, aku beli scooter juga. Lupa tukar SGD di Harbourfront, katanya kalo ditukar di sana bisa lebih tinggi hingga 200 poin!

Dan akhirnya balik ke Medan juga menggunakan Mandala Airlines jam 13.25. Capek tp menyenangkan.

It’s time for me to sign-out. Cheers!